BAB1 PENGERTIAN BAHASA BAKU DAN TIDAK BAKU
- Pengertian Bahasa Baku
Bahasa baku ialah satu jenis bahasa yang menggambarkan keseragaman dalam bentuk dan fungsi bahasa, menurut ahli linguistik Einar Haugen. Ia dikatakan sebagai “loghat yang paling betul” bagi sesuatu bahasa.
Halim (1980) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian masyarakat, dipakai sebagai ragam resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan penggunaannya.
Pei dan Geynor (1954: 203) menggatakan bahwa bahasa baku adalah dialek suatu bahasa yang memiliki keistimewaan sastra dan budaya melebihi dialek-dialek lainnya, dan disepakati penutur dialek-dialek lain sebagai bentuk bahasa yang paling sempurna.
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia. Poewadarminta menuliskan :
baku I
Jawa, (1) yang menjadi pokok, yang sebenarnya ; (2) sesuatu yang dipakai sebagai dasar ukuran (nilai, harga, standar).
baku II
saling (1976 : 79)
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI, 1988 :71), kata baku juga ada dijelaskan.
baku I
- pokok, utama ; (2) tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas dan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar;
baku II
saling
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu dan Zain menjelaskan makna kata baku.
baku I
(Jawa) yang menjadi pokok; (2) yang utama; standar
baku II
(Manado), saling (1996 : 144)
Baku dalam bahasa baku di dalam 3 Kamus di atas bermakna sama dengan baku I. Oleh karena itu, bahasa baku ialah bahasa yang menjadi pokok, yang menjadi dasar ukuran, atau yang menjadi standar. Penjelasan makna kata itu tentu saja belum cukup untuk memahami konsep yang sesungguhnya. Di dalam bahasa baku itu terdapat 3 aspek yang saling menyatu, yaitu kodifikasi, keberterimaan, difungsikan sebagai model. Ketiganya dibahas di bawah ini.
Istilah kodifikasi adalah terjemahan dari “codification” bahasa Inggris. Kodifikasi diartikan sebagai hal memberlakukan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma di dalam berbahasa (Alwasilah, 1985 :121). Masalah kodifikasi berkait dengan masalah ketentuan atau ketetapan norma kebahasaan. Norma-norma kebahasaan itu berupa pedoman tata bahasa, ejaan, kamus, lafal, dan istilah. Kode kebahasaan sebagai norma itu dikaitkan juga dengan praanggapan bahwa bahasa baku itu berkeseragaman. Keseragaman kode kebahasaan diperlukan bahasa baku agar efisien, karena kaidah atau norma jangan berubah setiap saat. Kodifikasi kebahasaan juga dikaitkan dengan masalah bahasa menurut situasi pemakai dan pemakaian bahasa. Kodifikasi ini akan menghasilkan ragam bahasa. Perbedaan ragam bahasa itu akan tampak dalam pemakaian bahasa lisan dan tulis. Dengan demikian kodifikasi kebahasaan bahasa baku akan tampak dalam pemakaian bahasa baku.
Bahasa baku atau bahasa standar itu harus diterima atau berterima bagi masyarakat bahasa. Penerimaan ini sebagai kelanjutan kodifikasi bahasa baku. Dengan penerimaan ini bahasa baku mempunyai kekuatan untuk mempersatukan dan menyimbolkan masyarakat bahasa baku.
Bahasa baku itu difungsikan atau dipakai sebagai model atau acuan oleh masyarakat secara luas. Acuan itu dijadikan ukuran yang disepakati secara umum tentang kode bahasa dan kode pemakaian bahasa di dalam situasi tertentu atau pemakaian bahasa tertentu.
Istilah bahasa baku dalam bahasa Indonesia atau standard language dalam bahasa inggris dalam dunia ilmu bahasa atau linguistic pertama sekali diperkenalkan oleh Vilem Mathesius Ia termasuk pencetus aliran praha. Ia merumuskan bahwa bahasa baku sebagai bentuk bahasa yang telah dimodifikasi, diterima dan difungsikan sebagai model atau acuan oleh masyarakat secara luas.
Di dalam Bahasa dan Sastra dalam gamitan pendidikan, Yus Rusiana berpengertian bahwa bahasa baku atau bahasa standar adalah suatu bahasa yang dikodifikasikan, diterima, dan dijadikan model oleh masyarakat bahasa yang lebih luas (1984 : 104). Didalam tata bahasa rujukan bahasa Indonesia untuk tingkatan pendidikan menengah, Gorys Keraf berpengertian bahwa bahasa baku adalah bahasa yang dianggap dan diterima sebagai patokan umum untuk seluruh penutur bahasa itu (1991 : 8).
Bahasa baku merupakan bahasa yang dapat mengungkapkan penalaran atau pemikiran teratur, logis, dan masuk akal. Bahasa baku memiliki sifat kemantapan dinamis dan kecendekiaan. Bahasa baku adalah bahasa yang digunakan secara efektif, baik, dan benar. Efektif karena memuat gagasan-gagasan yang mudah diterima dan diungkapkan kembali. Baik karena sesuai kebutuhan: ruang dan waktu. Dan, benar karena sesuai kaidah kebahasaan, secara tertulis maupun terucap.
Menurut Indradi (2008) bahasa baku adalah bahasa yang standar sesuai dengan aturan kebahasaaan yang berlaku, didasarkan atas kajian berbagai ilmu, termasuk ilmu bahasa dan sesuai dengan perkembangan zaman. Bahasa baku sebenanya merupakan bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan. Konteks penggunaannya adalah dalam kalimat resmi, baik lisan maupun tertulis dengan pengungkapan gagasan secara tepat.
Istilah bahasa tidak baku ini terjemahan dari “nonstandard language”. Istilah bahasa nonstandar ini sering disinonimkan dengan istilah “ragam subbaku”, “bahasa nonstandar”, “ragam takbaku”, bahasa tidak baku”, “ragam nonstandar”.
Suharianto berpengertian bahwa bahasa nonstandar atau bahasa tidak baku adalah salah satu variasi bahasa yang tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya, yaitu dalam pemakaian bahasa tidak resmi (1981 : 23).
Alwasilah berpengertian bahwa bahasa tidak baku adalah bentuk bahasa yang biasa memakai kata-kata atau ungkapan, struktur kalimat, ejaan dan pengucapan yang tidak biasa dipakai oleh mereka yang berpendidikan (1985 : 116).
Bahasa tidak baku adalah bahasa yang digunakan dalam berbicara dan menulis yang berbeda pelafalan, tata bAhasa, dan kosa kata dari bahasa baku suatu bahasa. (Richard, Jhon, dan Heidi dalam Barus 2014:7)
Crystal berpengertian bahwa bahsa nonbaku adalah bentuk-bentuk bahasa yang tidak memenuhi norma baku, yang dikelompokan sebagai subbaku atau nonbaku.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, jelas bahwa bahasa nonstandar adalah ragam yang berkode bahasa yang berbeda dengan kode bahasa baku, dan dipergunakan di lingkungan tidak resmi.
Bahasa Indonesia baku adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang bentuk bahasanya telah dikodifikasi, diterima, dan difungsikan atau dipakai sebagai model oleh masyarakat Indonesia secara luas.
Contoh pada Undang-undang dasar :
Undang-undang dasar 1945 pembukaan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dari beberapa kalimat dalam undang-undang tersebut menunjukkan bahasa baku, dan merupakan pemakaian bahasa secara baik dan benar.
Bahasa Indonesia tidak baku adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang tidak dikodifikasi, tidak diterima dan tidak difungsikan sebagai model masyarakat Indonesia secara luas, tetapi dipakai oleh masyarakat secara khusus.
Ciri-ciri bahasa Indonesia baku dan bahasa Indonesia tidak baku telah dibuat oleh para pakar bahasa dan pengajaran bahasa Indonesia. Mereka itu antara lain Harimurti Kridalaksana, Anton M. Moeliono, dan Suwito.
Ciri-ciri bahasa Indonesia baku dan bahasa Indonesia tidak baku itu dijelaskan di bawah ini setelah merangkum ciri-ciri yang ditentukan atau yang telah dibuat oleh para pakar tersebut.
Ciri-ciri Bahasa Indonesia Baku sebagai berikut :
- Pelafalan sebagai bahagian fonologi bahasa Indonesia baku adalah pelafalan yang relatif bebas atau sedikit diwarnai bahasa daerah atau dialek.
Misalnya : kata / keterampilan / diucapkan / ketrampilan / bukan / keterampilan
- Bentuk kata yang berawalan me- dan ber- dan lain-lain sebagai bahagian morfologi bahasa Indonesia baku ditulis atau diucapkan secara jelas dan tetap di dalam kata.
Misalnya:
Banjir menyerang kampung yang banyak penduduknya itu.
Kuliah sudah berjalan dengan baik.
- Konjungsi sebagai bahagian morfologi bahasa Indonesia baku ditulis secara jelas dan tetap di dalam kalimat.
Misalnya:
Sampai dengan hari ini ia tidak percaya kepada siapa pun, karena semua diangapnya penipu.
- Partikel -kah, -lah dan -pun sebagai bahagian morfologi bahasa Indonesia baku ditulis secara jelas dan tetap di dalam kalimat.
Misalnya:
Bacalah buku itu sampai selesai!
Bagaimanakah cara kita memperbaiki kesalahan diri?
Bagaimanapun kita harus menerima perubahan ini dengan lapang dada.
- Preposisi atau kata dengan sebagai bahagian morfologi bahasa Indonesia baku dituliskan secara jelas dan tetap dalam kalimat.
Misalnya:
Saya bertemu dengan adiknya kemarin.
Ia benci sekali kepada orang itu.
- Bentuk kata ulang atau reduplikasi sebagai bahagian morfologi bahasa Indonesia baku ditulis secara jelas dan tetap sesuai dengan fungsi dan tempatnya di dalam kalimat.
Mereka-mereka itu harus diawasi setiap saat.
Semua negara-negara melaksanakan pembangunan ekonomi.
Suatu titik-titik pertemuan harus dapat dihasilkan dalam musyawarah itu.
- Kata ganti atau polaritas tutur sapa sebagai bahagian morfologi bahasa Indonesia baku ditulis secara jelas dan tetap dalam kalimat. Misalnya:
Saya – anda bisa bekerja sama di dalam pekerjaan ini.
Aku – engkau sama-sama berkepentingan tentang problem itu.
Saya – Saudara memang harus bisa berpengertian yang sama.
- Pola kelompok kata kerja aspek + agen + kata kerja sebagai bahagian kalimat bahasa Indonesia baku ditulis dan diucapkan secara jelas dan tetap di dalam kalimat.
Misalnya:
Surat Anda sudah saya baca.
Kiriman buku sudah dia terima.
- Konstruksi atau bentuk sintesis sebagai bahagian kalimat bahasa Indonesia baku ditulis atau diucapkan secara jelas dan tetap di dalam kalimat.
Misalnya:
saudaranya
dikomentari
mengotori
harganya
- Fungsi gramatikal (subjek, predikat, objek) sebagai bahagian kalimat bahasa Indonesia baku ditulis atau diucapkan secara jelas dan tetap dalam kalimat.
Misalnya:
Kepala Kantor pergi keluar negeri.
Rumah orang itu bagus.
- Struktur kalimat baik tunggal maupun majemuk ditulis atau diucapkan secara jelas dan tetap sebagai bahagian kalimat bahasaIndonesia baku di dalam kalimat.
Misalnya:
Mereka sedang mengikuti perkuliahan dasar-dasar Akuntansi I. Sebelum analisis data dilakukannya, dia mengumpulkan data secara sungguh-sungguh.
- Kosakata sebagai bagian semantik bahasa Indonesia baku ditulis atau diucapkan secara jelas dan tetap dalam kalimat.
Misalnya:
Mengapa, tetapi, bagaimana, memberitahukan, hari ini, bertemu, tertawa, mengatakan, pergi, tidak begini, begitu, silakan.
- Ejaan resmi sebagai bahagian bahasa Indonesia baku ditulis secara jelas dan tetap baik kata, kalimat maupun tanda-tanda baca sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
- Peristilahan baku sebagai bahagian bahasa Indonesia baku dipakai sesuai dengan Pedoman Peristilahan Penulisan Istilah yang dikeluarkan oleh Pemerintah melalui Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Purba, 1996 : 63 – 64).
Kesalahan merupakan sisi yang mempunyai cacat pada ujaran atau tulisan sang pelajar. Kesalahan tersebut merupakan bagian-bagian konversasi atau yang menyimpang dari norma baku atau norma terpilih dari performasi bahasa orang dewasa.
Kesalahan berbahasa adalah pengguanan bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa yang berlaku dalam bahasa itu. Penyimpangan kaidah bahasa dapat disebabkan oleh menerapkan kaidah bahasa dan keliru dalam menerapkan kaidah bahasa. Dalam pengajaran bahasa, dikenal dua istilah kesalahan (error) dan kekeliruan (mistake).
Menurut Tarigan (1988: 87), kesalahan berbahasa erat kaitannya dengan pengajaran bahasa, baik pengajaran bahasa pertama maupun pengajaran kedua. Kesalahan berbahasa tersebut mengganggu pencapaian tujuan pengajaran bahasa. Kesalahan berbahasa harus dikurangi bahkan dapat dihapuskan. Kesalahan-kesalahan tersebut sering timbul dan banyak terjadi pada penulisan-penulisan ilmiah. Ada empat pengklasifikasian atau taksonomi kesalahan berbahasa yang dikemukakan Tarigan (1988), antara lain:
- Taksonomi kategori linguistik
- Taksonomi siasat permukaan
- Taksonomi komparatif dan
- Taksonomi efek komunikatif.
Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang taksonomi kategori linguistik, taksonomi siasat permukaan, taksonomi komparatif dan efek komunikatif.
Mengklasifikasikan kesalahan berbahasa berdasarkan komponen linguistik atau unsur linguistik tertentu. Politzer dan Ramirez dalam Tarigan mengutarakan bahwa kesalahan-kesalahan berbahasa dapat dikelompokkan atas kesalahan fonologi, morfologi, sintaksis, dan kosakata. Kesalahan fonologi mencakup ucapan bagi bahasa lisan dan ejaan bagi bahasa tulisan. Kesalahan morfologi mencakup kesalahan imbuhan dan perulangan kata. Kesalahan sintaksis mencakup kesalahan frase, klausa, dan kalimat. Kesalahan leksikon merupakan kesalahan pilihan kata.
Taksonomi siasat permukaan memfokuskan pada cara-cara struktur luar bahasa berubah. Para penutur bahasa mungkin saja :
- Menghilangkan butir-butir penting (penghilangan)
- Menambahkan sesuatu yang tidak perlu (penambahan)
- Salah memformasikan butir-butir (salah formasi)
- Salah menyusun butir-butir tersebut (salah susun)
Kesalahan yang bersifat penghilangan ditandai oleh ketidakhadiran suatu butir yang seharusnya ada dalam bahasa yang baik dan benar. Kesalahan penambahan ditandai oleh hadirnya suatu unsur yang seharusnya tidak ada dalam ujaran yang baik dan benar. Salah formasi ditandai oleh pemakaian bentuk morfem atau struktur yang salah. Salah susun ditandai oleh penempatan yang tidak benar bagi suatu morfem atau kelompok morfem.
Klasifikasi kesalahan-kesalahan dalam taksonomi komparatif didasarkan pada perbandingan-perbandingan antara struktur kesalahan-kesalahan bahasa kedua dan tipe-tipe kontruksi tertentu lainnya. Sebagai contoh jika kita menggunakan taksonomi komparatif untuk mengklasifikasikan kesalahan-kesalahan pelajar Indonesia yang belajar bahasa Inggris, maka kita dapat membandingkan struktur kesalahan pelajar yang memeroleh bahasa Inggris sebagai baha pertama. Contoh lainnya bila seseorang dari suku tertentu (jawa) yang belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa sasarannya.
Dalam kepustakaan riset, kesalahan-kesalahan bahasa kedua sudah sangat sering dibandingkam dengan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh anak-anak yang belajar bahasa sasaran sebagai bahasa pertama mereka dan mengekuivalensikan frase-frase atau kalimat-kalimat dalam bahasa ibu mereka. Dengan demikian, klasifikasi kesalahan-kesalahan dalam taksonomi komparatif (atau comparative taxonomy) didasarkan pada perbandingan-perbandingan antara struktur kesalahan-kesalahan bahasa kedua dan tipe-tipe konstruksi tertentu lainnya (Tarigan, 1988:158).
Berdasarkan perbandingan tersebut maka dalam taksonomi komparatif dapat dibedakan menjadi:
- Kesalahan Perkembangan (Development Errors) adalah kesalahan-kesalahan yang sama dengan yang dibuat oleh anak-anak yang belajar bahasa sasaran sebagai bahasa pertama
Contoh:
- Dalam Bahasa Indonesia
Pada contoh satu (1) dan dua (2) kesalahan terjadi karena kata nonton dan resmikan, kehilangan awalan me-, sedangkan pada contoh tiga (3) kesalahan yang terjadi adalah akibat hilangnya atau tidak adanya partikel di- sebelum kata rumah.
- Kesalahan Antarbahasa (Interlingual Errors)
Kesalahan antarbahasa adalah kesalahan-kesalahan yang semata-mata mengacu pada kesalahan bahasa kedua yang mencerminkan struktur bahasa asli atau bahasa ibu, tanpa menghiraukan proses-proses internal atau kondis-kondisi eksternal yang menimbulkannya. Kesalahan antarbahasa merupakan kesalahan yang sama dalam struktur bagi kalimat atau frasa yang berekuivalen secara semantik dalam bahasa ibu sang pelajar. Kesalahan antarbahasa (interlingual) disebut juga kesalahan interferensi, yakni: kesalahan yang bersumber (akibat) dari pengaruh bahasa pertama terhadap bahasa kedua.
Contoh:
Pada contoh satu (1) di atas adalah ucapan dari seorang anak Karo yang belajar Bahasa Indonesia untuk mencerminkan susunan atau urutan kata frasa proposisi dalam bahasa Karo (Bandung dari berarti ‘dari Bandung). Pada contoh dua (2) kesalahan terjadi karena tuturan yang digunakan dipengaruhi oleh bahasa Sunda karena kalimat Sundanya adalah “makanan teh atos kuabdi”. Bila tuturan tersebut dituturkan kedalam Bahasa Indonesia, maka seharusnya “makanan itu telah saya makan”. Hal itu didasarkan pada struktur Bahasa Indonesia. Pada contoh tiga (tiga) kesalahan terjadi karena adanya penggunaan unsur bahasa lain (Bahasa Inggris) ke dalam Bahasa Indonesia yaitu pada frase “ It doesn’t matter” yang memiliki padanan kata “itu bukan masalah” dalam Bahasa Indonesia dan pada contoh empat (4) merupakan contoh tuturan yang diujarkan oleh penutur Batak. Huruf “e” pada kata tenang seharusnya dilafalkan lemah, bukan keras.
- Kesalahan Taksa (Ambiguous Errors)
Kesalahan taksa adalah kesalahan yang dapat diklasifikasikan sebagi kesalahan perkembangan ataupun kesalahan antarbahasa. Contoh: Konstruksi yang mencerminkan bahasa asli sang pelajar (misalnya Medan) yang belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama mereka.
- Menulis saya (Saya menulis)
- Tidur dia (Dia tidur)
- Pergi kami (Kami pergi)
- Yang berdiri di depan kakak ibu (Yang berdiri di depan kakak / ibu)
Kalimat ini jika pengucapannya tidak dibatasi oleh jeda akan dapat ditafsirkan yang berdiri di depan itu kakak dari ibu (paman/bibi) atau bisa juga ditafsirkan yang berdiri di depan kakak itu adalah ibu.
- Kesalahan Lain (Other Errors)
Menurut Dulay dan Burt (1974), dalam membuat analisis komparatif kesalahan anak-anak, menyebutnya sebagai kesalahan unik (Unique errors) yang mengacu pada keunikannya bagi para pelajar bahasa kedua. Kesalahan unik adalah kesalahan bahasa yang tidak dapat dideskripsikan berdasarkan tataran kesalahan interlingual dan intralingual. Kesalahan ini tidak dapat dilacak dari bahasa pertama maupun bahasa kedua. Misalnya: anak kecil yang mulai belajar berbicara dalam suatu bahasa, tidak sedikit tuturan (kata frase atau kalimat) yang tidak dapat dijelaskan dari bahasa pertama maupun bahasa kedua.
Contoh:
Kesalahan unik pada contoh satu (1) adalah pada ragam bahasa yang digunakan. Pada kalimat tidak apa-apa dituturkan menjadi gak papa gin.
Jika taksonomi komparatif memusatkan perhatian pada aspek-aspek kesalahan itu sendiri, maka taksonomi efek komunikatif memandang serta menghadapi kesalahan-kesalahan dari perspektif efeknya terhadap penyimak atau pembaca.
Berdasarkan terganggu atau tidaknya komunikasi karena kesalahan-kesalahan yang ada, maka dapatlah dibedakan dua jenis kesalahan, yaitu :
- Kesalahan Global (Global Errors)
Kesalahan Global adalah kesalahan yang mempengaruhi keseluruhan organisasi kalimat sehingga benar-benar menggangu komunikasi. Karena luasnya cakupan sintatik kesalahan-kesalahan serupa itu, maka Burt dan Kiparsky menyebut kategori ini kesalahan “global”. Menurt Burt dan Kiparsky, kesalahan gobal mencakup:
- Salah menyusun unsur pokok
Misalnya :
Bahasa Indonesia banyak orang disenangi.
Yang seharusnya :
Bahasa Indonesia disenangi banyak orang.
- Salah menempatkan atau tidak memakai kata sambung
Misalnya :
Tidak beli beras tadi, apa makan kita sekarang.
Yang seharusnya :
Kalu kita tidak membeli beras tadi, makan apa kita sekarang
- Hilangnya ciri kalimat pasif
Misalnya :
Rencana penelitian itu diperiksa pada pimpinan.
Yang seharusnya :
Rencana penelitian itu diperiksa oleh pimpinan.
- Kesalahan Lokal (Local Errors)
Kesalahan lokal adalah kesalahan yang mempengaruhi sebuah unsur dalam kalimat yang biasanya tidak mengganggu komunikasi secara signifikan. Kesalahan-kesalahan ini hanya terbatas pada suatu bagian kalimat saja, maka Burt dan Kiparsky menyebutnya kesalahan “lokal”.
Dalam bahasa Indonesia, contoh kesalahan lokal itu antara lain sebagai berikut.
Penyelesaian tugas itu diselesaikannya dengan penuh semangat.
Jumlah mahasiswa Unesa berjumlah sepuluh ribu.
Penyerahan hadiah diserahkan oleh Bapak Lurah.
Yang seharusnya:
Tugas itu diselesaikannya dengan penuh semangat.
Mahasiswa Unesa berjumlah sepuluh ribu.
Hadiah diserahkan oleh Bapak Lurah.
Bab 2
2.1 Bahasa dan Tutur
Ferdinand de Saussure membedakan antara yang disebut langage, langue, danparole. Ketiga istilah ini berasal dari bahasa Prancis, dalam bahasa Indonesia lazim dipadankan dengan istilah bahasa. Padahal, ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa.
Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebutkan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Istilah langage dapat dipadankan dengan kata bahasa, misalnya manusia mempunyai bahasa, binatang tidak. Jadi, istilah bahasa dalam kalimat tersebut sepadan dengan kata langage, tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya sebagai alat komunikasi manusia. Istilah kedua adalah langue, digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Sementara itu, parole bersifat konkret karena ia merupakan pelaksaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Paroledapat dipadankan dengan kata ujaran.
Langage dan langue terkait dengan sistem yang ada pada pikiran manusia sebagai pengguna bahasa. Jadi, bersifat abstrak. Langue adalah bagian sosial dari langage.Langage bersifat homogen sedangkan langue bersifat heterogen. Konsep langue dapat dipadankan dengan “competence”, sedangkan langage dengan “performance”. Kedua istilah terakhir ini berasal dari Noam Chomsky, Bapak aliran tata bahasa transformasi generatif.
Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Akan tetapi, sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarakat tertentu memang agak sukar dirumuskan, tetapi adanya ciri saling mengerti barangkali bisa dipakai sebagai batasan adanya suatu bahasa. Misalnya penduduk yang berada di Bulukumba dengan yang berada di Takalar dan yang di Jeneponto,masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya. Begitu pun penduduk yang ada di Soppeng dengan Sidrap masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti dengan alat verbanya.
Adanya saling mengerti antara penduduk yang berada di Bulukumba dengan yang berada di Jeneponto karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang berada di Soppeng dan yang berada di Sidrap bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Akan tetapi, di antara penduduk Soppeng (tentu dengan bahasa Bugis) dengan Bulukumba (dengan bahasa Makassar) tidak ada saling mengerti karena tidak mempunyai kesamaan sistem dan subsistem.
Parole yang digunakan penduduk Soppeng dan Sidrap berbeda tetapi mereka saling mengerti karena terdapatnya kesamaan sistem dan subsistem. Parole yang digunakan di tempat-tempat tersebut disebut dialek.
Setiap orang mempunyai kekhasan tersendiri-sendiri dalam bahasa (berbicara dan menulis) kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, tulisan dan unsur-unsur bahasa lainnya. Ciri khas bahasa seseorang disebut idiolek. Jadi, kalau 10000 orang, maka akan ada 10000 idiolek.
Dari uraian tersebut secara linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun, perlu juga diketahui bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa karena anggota dari kedua dialek tersebut saling mengerti, tetapi secara politis bisadisebut sebagai dua buah nahasa yang berbeda. Misalnya bahasa Indonesia dan Bahsa Malaysia hampir sama, tetapi secara politis bahasa yang digunakan di Malaysia bahasa Malaysia dan bahasa yang digunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia.
2.2 Verbal Repertoar
Repertoar bahasa atau verbal repertoar adalah semua bahasa beserta ragam-ragam bahasa yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur. Misalnya melalui hasil pendidikan atau pergaulannya dengan penutur bahasa di luar lingkungannya, seseorang menguasai bahasa ibunya dan bahasa indonesia, selain itu, dia menguasai pula satu bahasa daerah lain atau lebih, juga menguasai bahasa asing, bahasa Inggris atau bahasa lainnya.
Jika dikelompokkan, verbal repertoar sebenarnya ada dua macam yakni yang dimiliki setiap penutur secara individual (verbal repertoar individu) dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan (verbal revertoar sosial). Verbal repertoar individu mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Verbal repertoar sosial mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro, sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro (Appel, 1976:22). Kedua jenis sosiolinguistik makro dan mikro ini mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling bergantung. Maksudnya, verbal repertoar setiap penutur ditentukan oleh masyarakat tempat dia berada; sedangkan verbal repertoar suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoar semua penutur di dalam masyarakat itu.
2.3 Masyarakat Tutur
Secara sosiologis orang selalu memandang satu komunitas sebagai satu organisasi sosial. Organisasi sosial selalu suatu proses pembentukan kelompok-kelompok dan pengembangan pola-pola asosiasi dan perilaku tetap yang kita sebut sebagai lembaga sosial (Harton & Hunt, 1984). Kedua ahli sosiologi dari Amerika Serikat ini mendefinisikan kelompok sebagai setiap kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggoataan dan saling berinteraksi.
Istilah masyarakat tutur sering pula disebut masyarakat bahasa atau komunitas bahasa. Kalau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoar yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu,maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa.
Untuk dapat disebut satu masyarakat tutur mesti ada perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama (Djoko Kentjoo, 1982). Dengan konsep adanya perasaan menggunakan tutur yang sama ini, maka dua buah dialek yang secara linguistik merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua bahasa dari dua masyarakat tutur yang berbeda. Fishman (1976:28) mendefinisikan bahwa “masyarakat tutur adalah suatu suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.”
Sementara itu, Bloomfield (1933:29) membatasi dengan “sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama.” Batasan ini dianggap terlalu sempit oleh masyarakat modern karena banyak orang yang menguasai lebih dari satu ragam bahasa, dan di dalam masyarakat itu terdapat lebih dari satu bahasa. Sebaliknya, definisi Labov (1972:158) yang mengatakan “ sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa” dianggap terlalu luas dan terbuka.
Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoar dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik. Dalam hal tertentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya dengan variasi kebahasaan. Contoh, setiap hari ratusan tenaga kerja yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai bahasa daerah yang berlainan, bekerja di pabrik-pabrik di Makassar, dan mereka sesama rekan sekerjanya menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi. Jadi, meskipun mereka berbahasa ibu yang berbeda, mereka adalah pendukung masyarakat tutur bahasa Indonesia.
Kalau kita melihat kasus masyarakat tutur bahasa Indonesia di atas, maka dapat dikatakan bahwa sisa terjadi suatu masyarakat tutur itu bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau karena integrasi siimbolisdengan tetap mengakui kemampuan komuniasi penuturnya tanpa megingat jumlah bahasa atauvariasi bahasa yang digunakan (Gumperz, 1976:37-53). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kompleksnya suatu masyarakat tutur ditentukan oelh banyaknya pengalaman dan sikap para penutur tempat variasi itu berada. Lalu verbal repertoar seluruh penuturnya sebagai anggota masyarakat itu (Fishman, 1972:32).
Dilihat dari sempit dan luasnya repertoanya, masyarakat tutur dapat dibedakan atas dua macam, yakni:
(1) masyarakat tutur yang repertoar pemekaiannya lebih luas dan
(2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.
Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat, baik dalam masyarakat yang terkacil atau tradisional maupun besar atau modern. Meskipun demikian, masyarakat modern mempunyai kecendrungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai veriasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dari beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah faktor sosial dan kultural.
Komunitas bahasa adalah suatu konsep sosiolinguistik yang pernah dibahas oleh Hudson (1980) Savillae Troike (1982) dan teristimewa Brauthwaite (1984). Menurut bloomfield (1933) komunitas bahasa dibentuk mereka (kumpulan orang) yang secara bersama-sama memiliki aturan-aturan bahasa yang sama. Labov lebih menekankan pada kriteria norma-norma yang dianut bersama dari ciri-ciri bahasa yang digunakan bersama. Fishman (1972) memandang suatu komunitas bahasa sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya bersama-sama menganut aturan-aturan fungsional yang sama.
Dari uraian di atas diketahui bahwa terdapat tiga pendekatan dalam memahami konsep komunitas bahasa. Pertama, dipandang dari sudut bentuk-bentuk bahasa yang dimiliki bersama; kedua, dari segi kaidah-kaidah yang mengatur sistem bahasa yang dimiliki bersama; ketiga, dari sudut pandang konsep yang dianut bersama.
Bahasalah yang menjadikan suatu masyarakat menjadi sentripetal, artinya bahasa cenderung mengabsorbsi masyarakat menjadi satu kesatuankesatuan masyarakat karena menganut norma-norma linguistik yang sama ini kita namai komuntas bahasa.
2.4 Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur
Berdasarkan pendapat ahli ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orangatau individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem bahasa yang sama berdasarkan norma-norma bahasa yang sama. Dengan kata lain inilah pembeda dan menjadi ciri khas sebuah masyarakat satu dengan yang lainnya.Berhubungan dengan itu, sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Indonesia memiliki banyak suku bangsa sehingga otomatis masyarakat tutur dan masyarakat kita juga sangat beragam, dari keberagaman inilah menimbulkan berbagai macam dialek dan bahasa yang berbeda. Setiap daerah memiliki bahasanya masing- masing. Kenyataan bahwa adanya perbedaan dalam berkomunikasi tidak akan menjadi halangan dalam berinteraksi sejauh penututur bahasa tersebut berasal dari masyarakat tutur yang sama. Akan tetapi, tidak dengan hal interaksi antar kelompok yang sudah memilki bahasa dan budaya masing- masing, dimana para pentur yang berinteraksi disini tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa daerah masing- masing. Untuk mengatasi hal ini maka muncul bahasa pemersatu yaitu Bahasa Indonesia. Inti dari keberhasilan dalam berkomunikasi adalah ketika para penuturnya dapat memahami satu sama lain maksud yang ingin disampaikan. Mereka harus mampu memahami situasi dan kondisi lawan tutur dan keadaan yang melatarbelakangi terjadinya interaksi ini. Oleh karena itu, yang menjadi patokan disini adalah peran peristiwa tutur (speech event) yangmendahului adanya tindak tutur (speech act) terjadi dalam masyarakat.
1. Peristiwa Tutur
Setiap komunikasi masyarakat tutur dalam menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, dalam setiap proses komunikasi berbahasa terjadilah apa yang disebut peristiwa tutur. Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan suatu pokok tuturan di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Chaer 1995:61).Di dalam setiap peristiwa interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor (unsur) yang mengambil peranan dalam peristiwa itu. Faktor-faktor itu seperti: penutur (speaker), lawan bicara (hearer, receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara (setting), suasana bicara (situationscene) dan sebagainya. Dalam pemakaian bahasanya, setiap penutur akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, dimana, mengenai masalah apa dan dalam suasana bagaimana. Dengan demikian maka tempat bicara akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur; demikian pula pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna pula terhadap pembicaraan yangsedang berlangsung.Dell Hymes,(1972) seorang pakar sosiolinguistik, mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:
Setting and scene, yaitu komponen yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Umpamanya percakapan yang terjadi dikantin kantor pada waktu istirahat tentu berbeda dengan yang terjadi diruang meeting ketika rapat berlangsung.
Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan seperti pembicara, lawan bicara dan pendengar. Umpamanya, antara siswa dengan gurunya. Percakapan siswa dan gurunya ini tentu berbeda kalau partisipannya bukan siswa dan guru, melainkan antara siswa dan siswa.
Ends, yaitu mengacu pada maksud dan hasil percakapan. Contohnya, seorang pimpinan bertujuan memberikan perintah (instruksi) secara jelas kepada bawahannya tetapi hasil yang didapat malahsebaliknya, pegawainya tidak menuruti perintah atasannya dengan baik dan benar.
Act Sequences, mengacu pada hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan. Dengan katalain suatu peristiwa dimana seorang pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicara.Misalnya dalam kalimat : dia berkata dalam hati “ mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik”. Perkataan mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik” pada kalimat adalah bentuk percakapan.
Key, yaitu mengacu pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan. Misalnya, pelajaran linguistik dapat diberikan dengan cara yang santai, tetapi dapat juga dengan semangatyang menyala-nya.
Instrumentalities, yaitu merujuk pada jalur percakapan atau alat menyampaikan pendapat. Sepertiapakah secara lisan atau bukan.
Norms of interaction and interpretation, yaitu merujuk pada norma perilaku percakapan yang patutditaati.
Genres, yaitu yang merujuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan. Jenis kegiatandiskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari jenis kegiatan lain.Dari yang dikemukakan Hymes itu dapat kita lihat betapa kompleksnya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Delapan unsur diatas dapatdijadikan untuk mendeteksi kontek situasi yang sedang dipakai oleh lawan tutur guna mengetahui maksud dan tujuan darinya.
2. Tindak Tutur
Untuk menentukan pemahaman dalam komunikasi perlu diketahui hubungan antara bahasa dan konteksnya. Artinya, untuk mengetahui atau memahami makna yang dimaksudkan oleh peneliti atau penulis, tidak hanya dengan memahami makna yang dimaksud atau kalimat yangdigunakan, tetapi dituntut untuk mengambil pengetahuan dan kesimpulan tentang apa yangdikatakan atau ditulis berdasarkan pemakaian konteks yang ada. Sehingga hal-hal yang berkenaandengan ini disebut dengan konteks situasi yang melatarbelakangi tindak tutur (speech act) dalam berkomunikasiharus mengkaji konteks dan tuturan, panutur dan mitra tutur juga harus memiliki latar belakang pengetahuan yang sesuai dengan apa yang ada pada tuturan.Kemudian Searle (1975: 59-82) mengembangkanteori tindak tutur ini menjadi 5 bentuk yaitu;
1.Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apayang diujarkan
2.Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannyadiartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
3.Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yangdisebutkan di dalam tuturannya.5.Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.
Contoh:
“Bagaimana kalau kita…kita kawin!”
Tindak tutur di atas termasuk ke dalam beberapa kategorisekaligus yaitu : tindak tutur perlokusi karena digunakan untuk membujuk mitra tutur agar mau diajak kawin direktif karena mitra tutur diharapkan melakukan tindakan yang disebutkan di dalamtuturan itu (kawin dengan penutur) komisif karena mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalamtuturannya (kawin dengan mitra tutur) deklarasi karena menciptakan status/keadaan yang baru (perkawinan)tindak tutur taklangsung harfiah karena kata tanya ‘bagaimana’ tidak digunakan secarakonvensional untuk menanyakan sesuatu, melainkan untuk mengajak mitra tutur melakukan sesuatu yang disebutkan dalam tindak tutur.
Kemudian dalam tindak tutur ini juga menyinggung istilah Implikatur percakapan mengacukepada jenis “kesepakatan bersama”antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan. Hubungan atau keterkaitan itusendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya, makna keterkaitan itu tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu.Secara jelasnya, Grice dalam Leech (1983: 16) mengemukakan bahwa percakapan yangterjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama.Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat maksim, yaitu
(1) maksim kuantitas, memberi informasi sesuai yang diminta;
(2) maksim kualitas, menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup buktikebenarannya;
(3) maksim relasi, memberi sumbangan informasi yang relevan;
(4) maksim cara, menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan,mengungkap-kan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan.
Keempat konsep yang terdapat di masyarakat tutur minangkanau itu memiliki makna yangdalam yaitu masayarakat yang menjunjung tinggi kesopansantunan terhadap sesama anggotamasyarakatnya berdasarkan usia dan posisinya di masyarakat. Sehingga aturan tersebutdiaplikasikan dalam melakukan tindak tutur. Setiap orang mempercayai dan mentaati normakesopansantunan ini ketika berinteraaksi antar anggotanya.
Ini sangat sejalan dengan pernyataan Gumperz (1978:16) inilah yang disebut social rules. Social rulesatau aturan- aturan sosial adalah pengikat seseorang dalam bertindak tutur dan menjadiacuan ketika beradaptasi dengan lingkungan dimana tuturan harus sesuai dengan niat/ tujuan,tempat, dan hubungan identitas antar penutur. Aturan- aturan social ini diperoleh melalui prosessosialisasi dalam masyarakat yang kemudian dipelajari secara natural dan inilah yang disebutkemampuan komunikatif. Setiap manusia memiliki kompetensi bahasa dalam pikirannya yangsecara tidak lansung terbentuk oleh social budaya dimana dia tumbuh dan berkembang. Dengankata lain aturan sosial sebagai parameter yang menuntun keberterimaan dalam prilaku komunikasi.KesimpulanSecara normal, seorang individu tidak hanya berhubungan dengan individu lain dalammasyarakat tuturnya, sebaliknya dia juga berhubungan dengan orang lain pada masyaarakat tutur yang berbeda pula. Ini kemudian menyebabkan munculnya variasi bahasa dan aktifitas bahasakerena didukung oleh latar belakang situasi yang berbeda. Penggabungan penutur- penutur dari latar belakang yang berbeda dan saling berinteraksi akan menciptakan sebuah komunitasmasyarakat baru yang memilki norma dan aturannya sendiri pula.Untuk itu, guna menilik lebih jauh sebuah komunitas masyarakat tutur, seseorang harus melihat budaya, aturan, dan kepercayaan yang diyakini bersama dalam masyarakat itu. Hal tersebutsangat berbeda dengan komunitas lain tergantung dimana komunitas itu berada. Setiap komunitas memiliki identitasnya masing- masing. Adanya pengaruh variasi sosial dalam konteks berkomunikasi menyebabkan penyusunan strategi yang berbeda oleh penutur bahasa untuk menyampaikan informasi pada lawan tuturnya. Prilaku interaksi setiap penutur berbeda satudengan yang lainnya, karena setiap penutur memiliki budaya masing-masing sehingga tindak tutur yang keluar adalah refleksi dari mana seseorang itu berasal. Fishman (1968) dan Gumperz(1978:37-53) mengatakan, masyarakat modern mempunyai kecenderungan masyarakat tutur yanglebih terbuka dan cenderung tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama; sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan.
BAB 3
VARIASI BAHASA.
1. Pengertian dan Penyebab Variasi Bahasa.
Secara sederhana, variasi dapat diartikan sebagai suatu perbedaan atau keberanekaragaman. Variasi dapat terjadi dalam berbagai hal, baik itu benda mati ataupun mahluk hidup. Lebih dari itu, variasi juga terjadi pada bahasa.
Variasi dalam sebuah bahasa terjadi karena dua hal;
a. Keragaman Penutur Bahasa.
Dikarenakan manusia sendiri merupakan mahluk yang beragam dan terdiri dari suku-suku yang berbeda, maka bahasa yang dituturkan dan cara penuturannya pun menjadi beragam dan bermacam-macam.
b. Keragaman Aktivitas Penutur dan Keragaman Fungsi Bahasa.
Sebagai sebuah alat berinteraksi, bahasa memiliki fungsi yang bermacam-macam. Entah itu untuk bertanya, memerintah, meminta bantuan, dan sebagainya. Hal itulah yang kemudian mempengaruhi dan menciptakan variasi bahasa yang bermacam macam dalam ranah sosial. Disamping itu, setiap kegiatan yang dilakukan penutur sangat memerlukan dan dapat menyebabkan variasi bahasa.[1]
2. Pembagian Variasi Bahasa
Berikut ini adalah variasi bahasa yang ditinjau dari berbagai sudut pandang;
a. Variasi dari segi penutur.
Ditinjau dari sudut pandang penutur bahasa, ada beberapa variasi yang bahasa yang berkaitan dengannya. Diantaranya;
1. Idiolek.
Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasa atau idioleknya masing-masing. Idiolek ini berkenaan dengan warna suara, pemilihan diksi, gaya bahasa, susunan kalimat, ekspresi, dan sebagainya. Dan yang paling dominan adalah warna suara, sehingga kita dapat mengenali suara seseorang yang kita kenal hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihatnya.
2. Dialek.
Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Contohnya; bahasa Jawa dialek Banyumas, Pekalongan, Surabaya, dan lain sebagainya. Bidang studi linguistik yang mempelajari dialek-dialek di berbagai wilayah dinamakan dengan dialektologi.
3. Kronolek. (dialek temporal).
Kronolek atau dialek temporal adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, variasi Bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa pada tahun lima puluhan, dan variasi bahasa pada masa kini. Variasi bahasa dari ketiga zaman tersebut tentunya berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi, dan sintaksis.
4. Sosiolek (dialek sosial).
Sosiolek adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Variasi bahasa ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan lain sebagainya.
Variasi bahasa sosiolek dibagi menjadi beberapa bagian sebagaimana berikut ini:
4.1. Variasi Bahasa Berdasarkan Usia
Yaitu varisi bahasa yang digunakan berdasarkan tingkat usia. Misalnya, variasi bahasa anak-anak akan berbeda dengan variasi remaja atau orang dewasa.
4.2. Variasi Bahasa Berdasarkan Pendidikan
Yaitu variasi bahasa yang terkait dengan tingkat pendidikan si pengguna bahasa. Misalnya, orang yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar akan berbeda variasi bahasanya dengan orang yang lulus sekolah tingkat atas. Demikian pula, orang yang lulus pada tingkat sekolah menengah atas akan berbeda dengan mahasiswa dalam segi penggunaan variasi bahasanya.
4.3. Variasi Bahasa Berdasarkan Seks
Yaitu variasi bahasa yang terkait dengan jenis kelamin, yakni pria dan wanita. Misalnya, variasi bahasa yang digunakan oleh mahasiswi atau ibu-ibu akan berbeda dengan varisi bahasa yang digunakan oleh mahasiswa atau bapak-bapak.
4.4. Variasi Bahasa Berdasarkan Profesi
Yaitu variasi bahasa yang terkait dengan jenis profesi, pekerjaan dan tugas dari para penguna bahasa tersebut. Misalnya, perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh para buruh, guru, dokter, dan lain-lain.
4.5. Variasi Bahasa Berdasarkan Tingkat Kebangsawanan
Yaitu variasi yang terkait dengan tingkat dan kedudukan penutur dalam masyarakatnya. Misalnya, adanya perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh raja ataupun keturunannya dengan masyarakat biasa. Dalam hal ini, beberapa bahasa daerah menamai variasi ini dengan istilah undak usuk bahasa.
Contohnya dalam bidang kosa kata, seperti kata mati digunakan untuk masyarakat biasa, sedangkan para raja menggunakan kata mangkat.
4.6. Variasi Bahasa Berdasarkan Tingkat Ekonomi Para Penutur
Yaitu variasi bahasa berdasarkan tingkat ekonomi penutur dalam masyarakat. Misalnya, seseorang yang mempunyai tingkat ekonomi yang tinggi akan mempunyai variasi bahasa yang berbeda dengan orang yang mempunyai tingkat ekonomi rendah. Variasi ini mempunyai kemiripan dengan variasi bahasa berdasarkan kebangsawanan, hanya saja tingkat ekonomi bukan mutlak sebagai warisan sebagaimana halnya dengan tingkat kebangsawanan. Disamping itu,di zaman modern ini pemerolehan status ekonomi yang tinggi tidak lagi identik dengan status kebangsawanan yang tinggi juga.
4.7. Variasi Bahasa Berdasarkan Tingkat Golongan, Status, dan Kelas Sosial
Variasi bahasa berdasarkan tingkat golongan, status dan kelas sosial para penuturnya terdiri dari berbagai kategori sebagai berikut;
a. Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi dari variasi sosial lainya. Contohnya seperti bahasa bagongan; yaitu variasi bahasa jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton.
b. Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan
dipandang rendah. Contohnya seperti bahasa inggris yang digunakan oleh paracowboy.
dipandang rendah. Contohnya seperti bahasa inggris yang digunakan oleh paracowboy.
c. Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pada pemakai bahasa yang kurang terpelajar atau dari kalangan yang tidak berpendidikan.
Contohnya adalah bahasa-bahasa eropa pada zaman Romawi sampai zaman pertengahan.
d. Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia, artinya bahwa variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui oleh orang lain dari kalangan luar.
e. Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari yang cenderung menyingkat kata, karena bukan merupakan bahasa tulis. Misalnya dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), nda (tidak).
f. Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok sosial tertentu namun tidak bersifat rahasia. Misalnya, istilah-istilah yang digunakan oleh para montir seperti dipoles, didongkrak, dan lain-lain.
g. Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh profesi tertentu dan bersifat rahasia. Misalnya, bahasa para pencuri dan tukang copet yang memakai kata “barang” yang bermaksud “mangsa”, daun dalam arti uang, dll;
h. Ken adalah variasi sosial yang bernada memelas, dibuat merengek-rengek penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis.[2]
b. Variasi Dari Segi Pemakaian.
Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek atau register adalah variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer, pertanian, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Variasi bahasa yang paling tampak cirinya dari segi pemakaian ini adalah dalam hal kosakata.
Setiap bidang kegiatan biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain. Misalnya, bahasa dalam karya sastra biasanya menekan penggunaan kata dari segi estetis sehingga dipilih dan digunakanlah kosakata yang tepat. Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah; komunikatif karena jurnalis harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena keterbatasasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan waktu (dalam media elektronik). Intinya ragam bahasa yang dimaksud di atas, adalah ragam bahasa yang menunjukan perbedaan ditinjau dari segi siapa yang menggunakan bahasa tersebut.[3]
c. Variasi Dari Segi Keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu:
1. Ragam Beku (frozen).
Gaya atau ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan pada situasi-situasi khidmat, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah, undang-undang, akta notaris, dan sebagainya.
2. Ragam Resmi (formal)
Gaya atau ragam resmi adalah variasi bahasa yang biasa digunakan pada pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat, dan lain sebagainya.
3. Ragam Usaha (konsultatif)
Gaya atau ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim dalam pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Wujud ragam usaha ini berada di antara ragam formal dan santai.
4. Ragam Santai (kasual)
Ragam santai adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat dan sebagainya.
5. Ragam Akrab (intim)
Gaya atau ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan leh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Variasi bahasa ini biasanya pendek-pendek dan terkadang dengan artikulasi yang tidak jelas.
Dalam kehidupan sehari-hari, kelima ragam diatas terkadang digunakan secara bergantian. Ketika berurusan dengan masalah dokumen jual beli, sewa menyewa atau pembuatan akte notaris, kita menggunakan ragam beku. Dalam rapat dinas atau ruang kuliah, kita menggunakan bahasa resmi. Pada waktu menyelesaikan tugas kelompok, kita menggunakan ragam usaha. Ketika beristirahat dan makan-makan di kantin, kita menggunakan ragam santai. Dan ketika kita bercakap-cakap dengan sahabat karib tanpa topik tertentu, biasanya menggunakan ragam akrab.
Sebagai perbandingan, perhatikan tiga contoh ragam bahasa berikut ini yang memiliki maksud yang sama namun tingkat keformalannya berbeda;
- Suadara boleh mengambil buku-buku yang Saudara sukai!
- Ambillah yang kamu sukai!
- Kalau mau ambil aja![4]
d. Variasi dari Segi Sarana.
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Misalnya, telepon, telegraf, radio dan sebagainya. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa ragam bahasa menurut sarana terbagi dua, yakni ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis memiki wujud dan struktur yang berbeda.[5]
1. Lisan
Merupakan suatu cara berkomunkasi dengan beberapa orang yang diungkapkan melalui media lisan seperti alat ucap yang memiliki unsur dasar yakni; pelafalan dalam berkata-kata, tata bahasa, dan kosakata yang terkait oleh ruang dan waktu. Ditinjau dari cara penyampaiannya, ragam bahasa lisan mempunyai unsur suprasekmental (aksen, nada, dan tekanan) dan paralingual (gerak-gerik tangan, mata, kepala) yang sangat berpengaruh terhadap hasil komunikasi.
2. Tulisan
Dalam ragam tulis, kita harus memperhatikan tata cara penulisan (ejaan) ,tata bahasa, dan kosa kata. Ragam bahasa tulis menuntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa dan struktur kalimat. Seperti bentuk kata, susunan kalimat, ketepatan dan kecermatan dalam pemilihan kosa kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.[6]
B. JENIS BAHASA
1. Pengertian Jenis Bahasa.
Jika pembahasan variasi bahasa hanya berkenaan dengan faktor internal bahasa, seperti penutur dan penggunaannya, maka pembahasan jenis bahasa berkenaan dengan faktor eksternal bahasa, seperti faktor sosiologis, politik, dan kultural. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jenis bahasa menurut sosiolinguistik adalah pengklasifikasian ragam bahasa yang ditinjau dari faktor-faktor eksternal yang masih berkaitan erat dengannya.
2. Pembagian Jenis Bahasa.
Berikut ini adalah klasifikasi jenis bahasa berdasarkan faktor-faktor eksternal dalam ranah linguistik;
a. Jenis Bahasa Berdasarkan Sosiologis.
Penjenisan bahasa berdasarkan faktor sosiologis, artinya penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga berdasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Stewart (dalam fishman(ed.)1968) menggunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis, yakni: (1) Standardisasi (2) Otonomi (3) Historisitas (4) Vitalitas.
1. Standardisasi atau pembakuan adalah adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaiaan “bahasa yang benar”.
2. Otonomi atau keotonomian, adalah teori bahwa sebuah sistem linguistik disebut mempunyai keotonomian kalau sistem linguistik itu memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain.
3. Historisitas atau kesejarahan adalah teori bahwa sebuah sistem linguistik dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu.
4. Vitalitas atau keterpakaian. Yakni fopemakaian sistem linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi. Jadi, unsur vitalitas ini mempersoalkan apakah sistem linguistik tersebut memiliki penutur asli yang masih digunakan atau tidak.[7]
b. Jenis Bahasa berdasarkan Sikap Politik
Berdasarkan sikap politik atau sosial politik bahasa dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yakni:
1. Bahasa Nasional atau bahasa kebangsaan, adalah kalau sistem linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu.
2. Bahasa Negara adalah sebuah sistem linguistik yang secara resmi dalam undang-undang dasar sebuah negara ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, administrasi kenegaraan, dan kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu.
3. Bahasa resmi yaitu sebuah sistem linguistik yang ditetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan, seperti seminar, konferensi, rapat, dan sebagainya.
4. Bahasa persatuan. Pengangkatan satu sistem linguistik sebagai bahasa persatuan adalah dilakukan oleh suatu bangsa dalam kerangka perjuangan, di mana bangsa yang berjuang itu merupakan masyarakat multilingual. Kebutuhan akan sebuah bahasa persatuan adalah untuk mengikat dan mempererat rasa persatuan sebagai satu kesatuan bangsa.
Ada kemungkinan keempat jenis bahasa tersebut mengacu pada satu sistem linguistik yang sama, dan ada kemungkinan juga berbeda. Sedangkan di Indonesia sendiri, keempat jenis bahasa tersebut mengacu pada satu sistem yang sama yakni Bahasa Indonesia.[8]
c. Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Perolehan.
Berdasarkan tahap pemerolehannya, jenis bahasa dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
1. Bahasa Ibu
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama karena bahasa itulah yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau si anak mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua. Andaikata kemudian si anak mempelajari bahasa lainnya lagi, maka bahasa bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga. Begitu pula selanjutnya. Pada umumnya, bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena baru dipelajari ketika masuk sekolah, dan ketika dia sudah menguasai bahasa ibunya; kecuali mereka yang sejak bayi sudah mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya.
2. Bahasa Asing
Yang disebut bahasa asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak. Di samping itu penamaan bahasa asing ini juga bersifat politis, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa lain. Oleh karena itu, bagi bangsa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Bahasa Malaysia dan Bahasa Negara lainnya, merupakan sebuah bahasa asing.
3. Lingua Franca
Yang dimaksud dengan lingua franca yaitu sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda. Sebagai contoh, dulu bahasa latin di eropa merupakan sebuah lingua franca bagi bangsa-bangsa di eropa.[9]
Demikianlah klasifikasi jenis bahasa ditinjau dari faktor-faktor eksternal dalam ranah sosiolinguistik.
C. VARIASI DALAM BAHASA ARAB.
1. Pembagian Variasi Bahasa Arab
Bahasa Arab memiliki lebih banyak penutur daripada bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Semitik. Bahasa ini dituturkan oleh lebih dari 280.000.000 orang sebagai bahasa pertama. Bahasa ini merupakan bahasa resmi dari 25 negara, dan merupakan bahasa peribadatan dalam agama Islam karena merupakan bahasa yang dipakai oleh Al Quran.[10]
Secara garis besar, bahasa Arab terbagi atas dua ragam, yakni ragam bahasa Arab baku (fusha) atau sering disebut formal language yang dipakai sebagai bahasa resmi, yang merupakan perkembangan kembali bahasa Arab Klasik dan bahasa yang dipakai dalam Al Quran dan Hadis dan ragam bahasa Arab 'Amiyah (bahasa sehari-hari, bahasa pasaran, atau bahasa gaul) atau sering disebut in-formal language yang dipakai sebagai bahasa komunikasi non-formal sehari-hari.
Kedua jenis ini masing-masing mempunyai dialek geografis. Perbedaan dialek geografis bahasa Arab baku tidak mencolok, sehingga perbedaannya masih mudah dimengerti oleh orang-orang non-Arab. Lain halnya dengan bahasa 'Amiyah. Perbedaan bahasa 'amiyah antara dialek satu dengan lainnya sering kali sangat jauh, sehingga orang non-Arab akan menemukan banyak kesulitan dalam memahaminya.[11]
Bahasa arab memiliki banyak sekali dialek, namun diantara sekian banyak dialek tersebut, ada beberapa dialek yang paling terkenal dan disebut dengan dialek utama. Yakni sebagai berikut;
Lebanon dan Gereja Maronit Siprus.
e. Dialek Arab Timur dan teluk : Dipakai di Oman, di Arab Saudi dan di Irak bagian Barat, Qatar, Uni Emirat Arab.[12]
2. Contoh Perbedaan Variasi Bahasa Arab
Jika dibandingkan dengan bahasa baku, bahasa ‘aamiyah memiliki beberapa perbedaan dari segi pelafalannya. Diantara perbedaan itu, dapat disimpulkan dalam beberapa kaidah umum berikut ini;
a. Penggantian bunyi
Contoh : ثلاثة (tsalatsah) menjadi تلاتة (talaatah)
: أنت (anta) menjadi إنت (inta)
b. Penambahan bunyi
Contoh : تفضل (tafaddal) menjadi إتفضل (itfaddal)
: معي [ma’iy] menjadi معايا [ma’ay:a]
c. Pelepasan bunyi
Contoh : في أين [fi: aina] menjadi فين [fi:n]
: من أين [min aina] menjadi منين [mini:n]
d. Penukaran tempat
Contoh : حضرتك [hadratik] menjadi حضرتك [hadritak]
: ترجع [tarji’] menjadi ترجع [tirga’]
Adapun dalam pemakaiannya, bisa diibaratkan sebagai berikut; Misalnya, ungkapan 'ayna tadzhab? 'Mau pergi ke mana?' dalam dialek amiyah Sudan diucapkan 'masyi wain?', sementara dalam dialek amiyah Irak diucapkan 'win rayh?'. Kedua variasi di atas bukan hanya pada segi fonetis, tetapi lebih pada pilihan kata. Ungkapan ‘masyi: wain?’ pada dialek Sudan di atas jika dilacak ke bahasa baku, berasal dari kalimat ‘(anta) ma:sy:?aina?’ (anda berjalan ke mana?), sedangkan ungkapan ’win rayh?’ berasal dari ‘’aina taru:h’ (kemana Anda pergi?).[13]
Semua perubahan yang terjadi pada dialek-dialek bahasa Arab pada umumnya tidak lepas dari empat kaidah umum yang dijelaskan sebelumnya. Namun pada kenyataanya kaidah tersebut bukanlah sebuah patokan yang bersifat mutlak. Mungkin saja kaidah tersebut memiliki cabang-cabang khusus lagi, ataupun ada perbedaan dialek yang tidak tercakup oleh kaidah, namun bersifat konvensional.
BAB 4
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
2.1 Pengertian Alih kode dan Campur Kode
1. Pengertian Alih Kode
Ohoiwutun (2007:71) mengatakan alih kode (code switching), yakni peralihan pemakaian dari suatu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Alih bahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi faktor-faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar, variasi bahasa, tujuan berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincang. Lebih lanjut Apple dalam Chaer (2004:107) mengatakan, alih kode yaitu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.
Ditambahkan oleh Hymes bahwa alih kode bukan hanya terbagi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Sebagai contoh peristiwa peralihan yang terjadi dalam suatu kelas yang sedang mempelajari bahasa asing (sebagai contoh bahasa Inggris). Di dalam kelas tersebut secara otomatis menggunakan dua bahasa yaitu, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kemudian terjadi percakapan dalam suatu bahasa nasional (contoh bahasa Indonesia) lalu tiba-tiba beralih ke bahasa daerah (contoh bahasa Sumbawa), maka kedua jenis peralihan ini juga disebut alih kode.
2. Pengertian Campur Kode
Kemudian gejala lain yaitu campur kode. Gejala alih kode biasanya diikuti dengan gejala campur kode, Thelander dalam Chaer (2004:115) mengatakan apabila didalam suatu peristiwa tutur terdapat klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa dan frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi ini adalah campur kode. Kemudian Nababan (1991:32) mengatakan campur kode yaitu suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Maksudnya adalah keadaan yang tidak memaksa atau menuntut seseorang untuk mencampur suatu bahasa ke dalam bahasa lain saat peristiwa tutur sedang berlangsung. Jadi penutur dapat dikatakan secara tidak sadar melakukan percampuran serpihan-serpihan bahasa ke dalam bahasa asli. Campur kode serupa dengan interfensi dari bahasa satu ke bahasa lain.
Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Unsur-unsur tersebut dapat berupa kata-kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata. Jika berwujud kata biasanya gejala itu disebut peminjaman. Hal yang menyulitkan timbul ketika memakai kata-kata pinjaman tetapi kata-kata pinjaman ini sudah tidak dirasakan sebagai kata asing melainkan dirasakan sebagai bahasa yang dipakai. Sebagai contoh si A berbahasa Indonesia. Kemudian ia berkata “sistem operasi komputer ini sangat lambat”. dari sini terlihat si A banyak menggunakan kata-kata asing yang dicampurkan kedalam bahasa Indonesia. Namun ini tidak dapat dikatakan sebagai gejala campur kode atau pun alih kode. Hal ini disebabkan penutur jelas tidak menyadari kata-kata yang dipakai adalah kata-kata pinjaman, bahkan ia merasa semuanya merupakan bagian dari bahasa Indonesia karena proses peminjaman tersebut sudah terjadi sejak lama. Lebih lanjut Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata yang-kata yang megalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. akan berbeda jika penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara dalam suatu bahasa. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan capur kode. Oleh karena itu dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar.
2.2 Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode
1. Penyebab Terjadinya Alih Kode
Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti yang dikemukakan Chaer (2004:108), yaitu:
a. Penutur
Perilaku atau sikap penutur, yang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena tujuan tertentu. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat dari percakapan yang dilakukanya. Sebagai contoh, A adalah orang sumbawa. B adalah orang batak. Keduanya sedang terlibat percakapan. Mulanya si A berbicara menggunakan bahasa Indonesia sebagai pembuka. Kemudian ditanggapi oleh B dengan menggunakan bahasa Indonesia juga. Namun ketika si A ingin mengemukakan inti dari pembicaraannya maka ia kemudian beralih bahasa, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Batak. Ketika si A beralih menggunakan bahasa Batak yang merupakan bahasa asli B, maka B pun merespon A dengan baik. Maka disinilah letak keuntungan tersebut. A berbasa basi dengan menggunakan bahasa Indonesia, kemudian setelah ditanggapi oleh B dan ia merasa percakapan berjalan lancar, maka si A dengan sengaja mengalihkan ke bahasa batak. Hal ini disebabkan si A sudah ingin memulai pembicaraan yang lebih dalam kepada si B. Selain itu inti pembicaraan tersebut dapat tersampaikan dengan baik, karena mudah dimengerti oleh lawan bicara yaitu B. Peristiwa inilah yang menyebakan terjadinya peristiwa alih kode.
b. Lawan Tutur
Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tuturnya. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena mungkin bahasa tersebut bukan bahasa pertamanya. Jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Sebagai contoh, Rani adalah seorang pramusaji disebuah restoran. Kemudian Ia kedatangan tamu asing yang berasal dari Jepang. Tamu tersebut ingin mempraktikkan bahasa Indonesia yang telah Ia pelajari. Pada awalnya percakapan berjalan lancar, namun ketika tamu tersebut menanyakan biaya makanya Ia tidak dapat mengerti karena Rani masih menjawab denganmenggunakan bahasa Indonesia. Melihat tamunya yang kebingungan tersebut, secara sengaja Rani beralih bahasa, dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang sampai tamu tersebut mengerti apa yang dikatakan Rani. Dari contoh di atas dapat dikatakan telah terjadi peristiwa peralihan bahasa atau disebut alih kode, yaitu bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. Oleh karena itu lawan tutur juga sangat mempengaruhi peristiwa alih kode.
c. Hadirnya Penutur Ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Sebagai contoh, Tono dan Tini bersaudara. Mereka berdua adalah orang Sumbawa. Oleh karena itu, ketika berbicara, mereka menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari, yaitu bahasa Sumbawa. Pembicaraan berjalan aman dan lancar. Tiba-tiba datang Upik kawan Tini yang merupakan orang Lombok. Untuk sesaat Upik tidak mengerti apa yang mereka katakan. Kemudian Tini memahami hal tersebut dan langsung beralih ke bahasa yang dapat dimengerti oleh Upik, yaitu bahasa Indonesia. kemudian Ia bercerita tentang apa yang Ia bicarakan dengan Tono dengan menggunakan bahasa Indonesia. Inilah yang disebut peristiwa alih kode. Jadi, kehadiran orang ketiga merupakan faktor yang mempengaruhi peristiwa alih kode.
d. Perubahan Situasi
Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya laih kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau sebaliknya.
e. Topik Pembicaraan
Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Topik pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
2. Penyebab Terjadinya Campur Kode
Sama halnya dengan alih kode, campur kodepun disebabkan oleh masyarakat tutur yang multilingual. Namun, tidak seperti alih kode, campur kode tidak mempunyai maksud dan tujuan yang jelas untuk digunakan karena campur kode digunakan biasanya tidak disadari oleh pembicara atau dengan kata lain reflek pembicara atas pengetahuan bahasa asing yang diketahuinya. Setyaningsih, dalam http://www.slideshare.net/ninazski/paper-sosling-nina mengatakan campur kode digunakan karena apabila seseorang yang sedang dalam kegiatan berkomunikasi tidak mendapatkan padanan kata yang cocok yang dapat menjelaskan maksud dan tujuan yang sebenarnya, maka ia akan mencari padanan kata yang cocok dengan jalan mengambil istilah dari berbagai bahasa yang ia kuasai. Kemudian penyebabterjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sikap (attitudinal type) yakni latar belakang sikap penutur, dan kebahasaan (linguistik type) yakni latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa
2.3 Jenis-Jenis Alih Kode dan Campur Kode
1. Jenis-Jenis Alih Kode
a. Alih Kode Metaforis
Alih kode metaforis, yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik.
b. Alih Kode Situasional
Sedangkan alih kode situasional, yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi dimana para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam suatu situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam alih kode ini tidak tejadi perubahan topik. Pergantian ini selalu bertepatan dengan perubahan dari suatu situasi eksternal (misalnya berbicara dengan anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga).
Selain alih kode metaforis dan situsional, Suwito dalam Chaer (2004:114) juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern.
a. Alih Kode Intern
Alih Kode Intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Sumbawa, atau sebaliknya
b. Alih Kode Ekstern
Sedangkan alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa Indonesiadengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau sebaliknya.
2. Jenis-Jenis Campur Kode
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu campur kode ke luar (outer code-mixing)dan campur kode ke dalam (inner code-mixing).
a. Campur Kode Ke Luar (Outer Code-Mixing)
Yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing atau dapat dijelaskan bahasa asli yang bercampur dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia – bahasa Inggris – bahasa Jepang, dll
b. Campur Kode Ke Dalam (Inner Code-Mixing)
Yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Contohnya bahasa Indonesia-bahasa Sumbawa-bahasa Batak-Bahasa Minang (lebih ke dialek), dll.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
A. Pengertian Alih kode dan Campur Kode
1) Pengertian Alih Kode
Alih kode yakni peralihan pemakaian dari suatu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Alih kode juga bisa dikatakan sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Hymes bahwa alih kode bukan hanya terbagi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
2) Pengertian Campur Kode
Kemudian gejala lain yaitu campur kode. Gejala alih kode biasanya diikuti dengan gejala campur kode, apabila didalam suatu peristiwa tutur terdapat klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa dan frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi ini adalah campur kode. Kemudian ada juga yang mengatakan campur kode yaitu suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu.
B. Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode
1. Penyebab Terjadinya Alih Kode
Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti yang dikemukakan Chaer (2004:108), yaitu:
a. Penutur
b. Lawan Tutur
c. Hadirnya Penutur Ketiga
d. Perubahan Situasi
e. Topik Pembicaraan
2. Penyabab Terjadinya Campur Kode
a. sikap (attitudinal type)
b. kebahasaan (linguistik type)
C. Jenis-Jenis Alih Kode dan Campur Kode
1. Jenis-Jenis Alih Kode
c. Alih Kode Metaforis
d. Alih Kode Situasional
Selain alih kode metaforis dan situsional, Suwito dalam Chaer (2004:114)
a. Alih Kode Intern
b. Alih Kode Ekstern
2. Jenis-Jenis Campur Kode
a. Campur Kode Ke Luar (Outer Code-Mixing)
b. Campur Kode Ke Dalam (Inner Code-Mixing)
Goodddd
BalasHapusTrimakasih sudah membaca
HapusBagus, sangat membantu untuk penyelesaian tugas.
BalasHapusKeren kawan.
BalasHapussangat membantu
BalasHapusSangat bagus
BalasHapusSangat membantu, mantap
BalasHapusBagus,
BalasHapusMohon tidak dibubuhi warna pada latar belakang isi nya
Keren.
BalasHapusSemangat terus
Trimakasih atas komentar anda, semoga blog ini bermanfaat bagi kita
Hapus“Terima kasih telah membantu saya. Saya sangat beruntung karena dapat menamba wawasan dari blogg anda.
BalasHapusTrimakasih juga sudah menggunakan blog saya untuk membantu anda dalam menambah wawaasan anda. □□
Hapus